Nasihat; Satu Dari Tujuh Larangan Nabi Saw Tentang Buruk Sangka.

dfafafda

Jangan Buruk Sangka
Imam Al- Qurthubi menerangkan kepada kita bahwasanya buruk sangka itu adalah melemparkan tuduhan kepada orang lain tanpa dasar yang benar. Yaitu seperti seorang menuduh orang lain melakukan perbuatan jahat, akan tetapi tanpa disertai bukti-bukti yang membenarkan tuduhan tersebut.

Allah Swt berfirman, “Hai orang- orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba- sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba sangka itu dosa. Dan janganlah mencari- cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adkah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Hujurat[49]: 12)
Ayat ini diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw yang berbunyi,

“Iyyakum wa dzana, fainna dzonna akdzabul hadits” yang artinya, “Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan paling dusta.” (Muttafaq alaih—Shahih)
Saudaraku, dalam kehidupan sehari- hari kita seringkali menemukan peristiwa seperti ini. Bahkan, boleh jadi diri kita pun tidak luput melakukannya. Baik disadari ataupun tanpa disadari. Hanya karena omongan teman mengenai diri orang lain, kita bisa dengan mudah terpancing untuk turut berprasangka buruk tentangnya.

Jika sudah demikian, maka hidup kita tidak akan tenang. Mengapa? Karena kita jadi mudah menilai bahwa orang lain adalah jahat. Kepada orang tertentu yang kita buruk sangkai, kita akan bersikap dingin atau menghindar, karena kita menduga bahwa dirinya jahat dan kita ingin selamat. Padahal sebenarnya, belum tentu seperti itu. Bahkan, sangat mungkin sangkaannya itu keliru.

Dalam situasi seperti itu, maka yang rugi siapa? Tiada lain dan tiada bukan yang rugi adalah diri kita sendiri. Kita rugi karena terganggu ketenangan kita. Dan kita bertambah rugi lagi karena buruk sangka mendatangkan dosa pada diri kita sendiri. Na’udzubillahi mindzalik!

Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa buruk sangka (suuzhan) adalah haram sebagaimana ucapan yang buruk. Keharaman suuzhan itu seperti haramnya membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu tidak diperbolehkan juga membicarakan keburukannya kepada diri sendiri atau di dalam hati, sehingga kita berprasangka buruk tentangnya. Apa yang Al- Ghazali maksudkan adalah keyakinan hati bahwa suatu keburukan tertentu terdapat dalam diri orang lain. Bisikan hati yang hanya terlintas sedikit saja, maka itu di maafkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyangka buruk, di mana persangkaan adalah sesuatu yang di yakini di dalam hati.

Jikalau berprasangka buruk terhadap sesama saja sudah mendatangkan dosa. Maka, apalagi jika buruk sangka itu di tujukan terhadap Allah Swt. Seperti apa berburuk sangka kepada Allah itu?

Bentuk- bentuk contoh suuzhan kepada Allah Swt adalah sikap putus asa dari rahmat- Nya, merasa diri tidak disayangi oleh- Nya. Juga sikap tidak menerima takdir, menganggap Allah tidak adil, menganggap doanya tidak akan dikabulkan dan menganggap kaum Muslimin akan tetap dalam keadaan kalah dan kemenangan akan selama- lamanya berada ditangan orang- orang kafir. Serta masih banyak contoh lainnya.

Sedangkan Allah Swt dengan sangat tegas memperingatkan kita untuk tidak berburuk sangka pada- Nya. Dalam salah satu hadits qudsi disebutkan,

“Aku senantiasa berada pada prasangka baik hamba-Ku dan aku akan bersama dia ketika ia mengingat-Ku (berdzikir kepada-Ku) kalau ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingat dia dalam Diri-Ku. Bila ia ingat Diri-Ku di tempat ramai, Aku akan mengingatinya di tempat keramaian yang lebih baik dari padanya. Kalau ia (hamba-Ku) mendekat kepada-Ku sejengkal, akan Ku dekati ia sehasta. Kalau ia mendekat kepada- Ku sehasta, maka Aku dekati dia sedepa dan bila dia datang kepada- Ku berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari Muslim. – shahih)

Mungkin kita bertanya- Tanya di dalam hati “Lalu bagaimana cara kita membedakan antara sikap waspada dengan buruk sangka?” pertanyaan seperti ini sangat wajar muncul di dalam benak kita. Karena, memang sangat halus perbedaanya dan juga sangat mudah sekali prasangka terbetik di dalam hati kita.

Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa Allah akan memaafkan prasangka buruk yang muncul hanya selintas saja di dalam hati yang kemudian dilupakan. Karena manusia adalah makhluk yang lemah yang tidak mampu menghalang- halangi munculnya kilatan prasangka yang muncul secara tiba- tiba begitu saja di dalam hatinya. Namun, apabila kilatan prasangka tersebut dipelihara terus, dilanjutkan atau ditumbuhkan dengan kecurigaan- kecurigaan berikutnya apalagi hingga dibicarakan kepada orang lain, maka inilah yang mendatangkan dosa.

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi RA, bahwa buruk sangka yang hukumnya haram adalah prasangka buruk yang menetap di dalam hati seseorang. Sedangkan prasangka buruk yang muncul secara sekilat saja lalu hilang, itu tidaklah mendatangkan dosa karena memang di lur kemampuan manusia.

Pendapat Imam Nawawi tersebut didasarkan kepada sebuah hadits yang menjelaskan bahwasanya Allah Swt akan memaafkan seorang hamba yang di dalam hatinya muncul suatu hal terlarang secara selintas saja secara tidak sengaja, dan ia tidak melanjutkannya dengan cara menceritakannya atau melakukannya.

Hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di hati mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari, Muslim.—shahih)

Sebagaimana pengertiannya bahwa buruk sangka adalah menuduh orang lain berbuat keburukan tanpa didasari dengan bukti atau petunjuk yang kuat. Menurut penjelasan Imam Nawawi, maka jika persangkaan muncul karena didorong oleh petunjuk- petunjuk yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, persangkaan ini tidaklah haram dan tidaklah termasuk kepada buruk sangka. Karena demikianlah tabiat manusia, jika ia mendapatkan petunjuk- petunjuk yang kuat, maka muncullah persangkaan di dalam dirinya. Persangkaan buruk yang sama sekali tidak didasari petunjuk- petunjuk yang kuat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam hal buruk sangka kepda Allah Swt, hal ini biasanya terjadi manakala seseorang ditimpa kesulitan hidup. Ketika doanya tidak juga terkabul, keinginannya tidak juga terwujud, maka ia kecewa. Ia putus asa dan beranggapan bahwa Allah Swt tidak mau endengarkan doanya, tidak menyayanginya.

Dalam situasi itu biasanya seseorang menjadi gelap mata dan buta hati. Ia lupa padasekian banyak pemberian Allahyang terlimpah kepada dirinya selama ini. Ia lupa pada penjaganya, pemberian, dan kasih sayng Allah yang tiada pernah bisa terhitung disepanjang hidupnya, sejak ia di dalam rahim ibuya, hingga ia lahir tumbuh dan berkembag.

Padahal, ketika doanya tidak terkabul saat itu, maka itu sesungguhnya bukanlah tidak dikabulkan oleh Allah Swt. Melainkan Allah menundanya dan mengabulkannya berupa kebaikan di akhirat kelak. Atau Allah akan mengabulkannya dengan cara menyelaatkan dirinya dari keburukan.

Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah selama tida mengandung dosa dan memutuskan silaturahim, melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa.” Nabi Saw lantas berkata, “ Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa- doa kalian.” (HR Ahmad.—shahih)

Selain itu, sifat manusia yang selalu tak pernah puas mengakibatkan selalu bermunculan keinginan demi keinginan. Manusia mengira bahwa segala hal yang ia inginkan itu memang baik baginya. Setelah punya motor, ia ingin punya mobil. Setelah punya mobil, ia ingin punya mobil yang mewah. Setelah punya kontrakan, ia ingin punya rumah. Setelah punya rumah, ia ingin punya rumah yang lebih luas dan lebih indah. Begitulah seterusnya. Setelah punya pekerjaan, ia ingin punya jabatan atau kedudukan yang lebih tinggi lagi. Ingin punya penghasilan yang lebih tinggi lagi. Ingin punya penghasilan yang lebih besar lagi

Demikianlah manusia. Memang tidak salah manakalamanusia punya keinginan. Karena dengan adanya keinginan, manusiaakan hidup secara aktif dan kreatif. Namun yang keliru adalah ketika manusia memikirkan bahwa apa yang diinginkannya harus ia dapatkan sehingga ia berusaha mendapatkannya dengan menghalalkan berbagai macam cara. Dan ketika ia gagal mendapatkannya, lantas ia putus asa dan menghujat siapa saja, tak terkecuali Allah Swt. Inilah sikap yang salah.

Artinya: “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Sebagai contoh, ada yang ingin menjadi pegawai negeri. Ujian-ujian seleksi ia ikuti. Berbagai persyaratan ia penuhi. Ia menghindari praktik kotor melakukan sogokan untuk meloloskan keinginannya. Akan tetapi, ia tidak lulus ujian tersebut. Pada kesempatan berikutnya ia mencoba kembali, namun tidak juga lulus.

Orang yang mengalami hal demikian bisa jadi terjerumus pada sikap putus asa dan berburuk sangka kepada Allah Swt. Namun, bisa jadi juga dia tetap berprasangka baik kepada-Nya dengan meyakini bahwa kewajiban dirinya hanyalahberusaha seserius dan sebaik mungkin. Karena apapun hasilnya, itu adalah kekuasaan Allah Swt. Siapa yang tahu jika ternyata ketidaklulusannya yang berkali- kali itu mengantarkan dirinya menjadi seorang wirausaha sukses.

Berprasangka baik terhadap Allah Swt akan membuat kita senantiasa siap menerima ketetapan-Nya yang akan terjadi kepada kita. Baik itu kenyataan yang sesuai dengan keinginan, maupun yang tidak. Baik itu kenyataan berupa keberuntungan, maupun kenyataan berupa musibah. Prasangka baik terhadap Allah Swt membuat kita senantiasa yakin bahwasanya setiap ketetapan Allah Swt terhadap diri kita itu pada hakikatnya adalah kebaikan.

Sebagaiman firman Allah Swt.,“Dan dikatakan kepada orang- orang yang bertakwa, “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab, “ (Allah telah menurunkan) kebaikan!”Orang- orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampong akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik- baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS. An Nahl [16]: 30)

Tidaklah semata- mata Rasulullah Saw melarang umatnya dari suatu perbuatan tertentu, kecuali karena perbuatan tersebut bisa berdampak buruk. Baik bagi dirinya maupun orang lain. Tak terkecuali buruk sangka.

Selain mendatangkan dosa, buruk sangka juga mengganggu kesehatan mental dan jiwa. Karena setiap kali seseorang berburuk sangka terhadap orang lain, maka selama itu pula dirinya akan dipenuhi dengan pikiran- pikiran negative, kesehariannya tidak tenang, gundah gulana dan gelisah disebabkan prasangkanya sendiri .

Buruk sangka tanpa terasa membuat seseorang menjadi berjiwa pengecut. Karena ia terbiasa sibuk dengan prasangkanya tanpa ada keberanian untuk mencari kebenaran atau tabayyun langsung kepada orang bersangkutan.

Akibatnya kemudian, seseorang yang selalu berburuk sangka, tentunya sulit untuk bahagia. Bahagia adalah keadaan di mana hati tenang tentram. Sedangkan dengan buruk sangka, ketenangan hati akan sangat sulit di dapat. Mengapa? Karena rasa curiga dan pikiran negative lebih mendominasi diri kita. Jika sudah demikian, bagaimana mungkin bisa tenang?!

Semoga kita terhindar dari sifat buruk sangka. Sehingga tenanglah hati kita dan bahagialah hidup kita.
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.

sumber: http://www.smstauhiid.com/7-larangan-rasulullah-shallallahu-alaihi-wasallam-larangan-pertama/

0 Response to "Nasihat; Satu Dari Tujuh Larangan Nabi Saw Tentang Buruk Sangka."

Posting Komentar