Belajar Memaknai Hidup Dari Secangkir Kopi

dfafafda
Setiap manusia dimuka bumi ini sebenarnya memiliki dan melewati fase hidup yang hampir sama. Terlahir, menjadi anak-anak, menjadi remaja, dewasa, menikah, memiliki anak, tua, lalu mati. Bahkan ada yang memang di Takdirkan hanya melewati beberapa fase karena hidupnya berhenti pada fase tertentu. Namun semua perjalanan atau fase hidup akan berujung pada kematian. Sebelum kita sampai pada titik akhir kehidupan, hendaknya kita berusaha memaknai kehidupan dengan bijak. Agar bukan penyesalan yang kita dapati di akhir perjananan. Yang sejatinya, kehidupan saat ini adalah penentu kehidupan kita di masa yang akan datang. 

Berikut ini penulis menyelipkan sebuah kisah tentang secangkir kopi, dari kisah ini kita belajar akan makna kehidupan, semoga ada hikmah yang bisa di ambil dan semoga setiap pembaca menjadi terinspirasi sehingga kita menjadi manusia yang lebih baik.

Pada Suatu hari Beberapa alumnus di sebuah Universitas terkenal, bertamu ke rumah Seorang Dosen senior, Pertemuan itu terjadi setelah bertahun-tahun mereka lulus. Yang tentunya semua dalam kondisi yang berbeda. Mereka kembali dipertemukan, Setelah mereka semua alumnus tersebut menggapai kesuksesan, kedudukan yang tinggi serta kemapanan ekonomi dan sosial. Setelah saling menyapa dan berbasa basi, masing-masing mereka mulai mengeluhkan pekerjaannya. Jadwal yang begitu padat, tugas yang menumpuk dan banyak beban lainnya yang seringkali membuat mereka stress. Sejenak sang dosen masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian, beliau keluar sambil membawa nampan tampak di atasnya sebuah teko besar berisikan kopi dan berbagai jenis cangkir. Ada cangkir-cangkir keramik tiongkok yang mewah. Cangkir-cangkir kristal. Cangkir-cangkir melamin. Dan cangkir-cangkir plastik. Sebagian cangkir tersebut luar biasa indahnya. Ukirannya, warnanya dan harganya yang waahh. Namun ada juga cangkir plastik yang biasanya berada di rumah orang-orang yang amat miskin. Sang dosen berkata, “Silahkan.. masing-masing menuangkan kopinya sendiri”. Setelah setiap mahasiswa memegang cangkirnya, sang dosen berkata, “Tidakkah kalian perhatikan bahwa hanya cangkir-cangkir mewah saja yang kalian pilih? Kalian enggan mengambil cangkir-cangkir yang biasa? Manusiawi sebenarnya, saat masing-masing dari kalian berusaha mendapatkan yang paling istimewa. Namun seringkali itulah yang membuat kalian menjadi gelisah dan stress. Sejatinya yang kalian butuhkan adalah kopi, bukan cangkirnya. Akan tetapi kalian tergiur dengan cangkir-cangkir yang mewah. Terus perhatikanlah, setelah masing-masing kalian memegang cangkir tersebut, kalian akan terus berusaha mencermati cangkir yang dipegang orang lain!

Sang Dosen menambahkan, Andaikan kehidupan adalah kopi, maka pekerjaan, harta dan kedudukan sosial adalah cangkir-cangkirnya.Jadi, hal-hal itu hanyalah perkakas yang membungkus kehidupan. Adapun kehidupan (kopi) itu sendiri, ya tetap itu-itu saja, tidak berubah. Saat konsentrasi kita tersedot kepada cangkir, maka saat itu pula kita akan kehilangan kesempatan untuk menikmati kopi. Karena itu kunasehatkan pada kalian, jangan terlalu memperhatikan cangkir, akan tetapi nikmatilah kopinya…”. Sejatinya, inilah penyakit yang diderita manusia. Banyak orang yang tidak bersyukur kepada Allah atas apa yang ia miliki, setinggi apapun kesuksesannya. Sebab ia selalu membandingkannya dengan apa yang dimiliki orang lain. Setelah menikah dengan seorang wanita cantik yang berakhlak mulia, ia selalu berfikir bahwa orang lain menikah dengan wanita yang lebih istimewa dari istrinya. Sudah tinggal di rumah sendiri, namun selalu membayangkan bahwa orang lain rumahnya lebih mewah dari rumah sendiri. Ia bukannya menikmati kehidupannya beserta istri dan anak-anaknya. Tapi justru selalu memikirkan apa yang dimiliki orang lain, seraya berkata, “Aku belum punya apa yang mereka punya”.

Rasulullah SAW mengingatkan, "Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya dan memiliki makanan untuk hari itu; seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya". (HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh al-Albani).Terkadang manusia itu aneh, Mereka korbankan kesehatan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Namun Setelah terkumpul, mereka gunakan harta tersebut untuk mengembalikan kesehatannya yang telah hilang! Mereka selalu gelisah memikirkan masa depan, tapi mereka melupakan hari ini. Akibatnya, mereka tidak menikmati hari ini dan tidak pula hidup di masa datang. Mereka senantiasa melihat apa yang dimiliki orang lain, namun tidak pernah melihat apa yang dimilikinya sendiri. Akibatnya, ia tidak bisa meraih apa yang dimiliki orang lain dan tidak pula bisa menikmati milik sendiri. Padahal, Mereka diciptakan untuk satu tujuan, yakni beribadah. Dunia diciptakan untuk mereka gunakan sebagai sarana beribadah. Tetapi malah sebaliknya, justru sarana tersebut pada akhirnya melalaikan mereka dari tujuan utama”. 

Maka, mulai saat ini kita nikmati kopi kehidupan tersebut dengan sebaik-baiknya seraya terus bersyukur atas apa yang kita punya, bagaimanapun dan seperti apapun cangkirnya.

    0 Response to "Belajar Memaknai Hidup Dari Secangkir Kopi"

    Posting Komentar